DI BALIK SAWAH YANG RIMBUN, ADA PETANI YANG TEKUN
Bicara tentang kedudukan suami dgn istri, Surat Al-Baqarah ayat 223 mengambil analogi yg sangat tepat sekali. Yaitu seorang suami dimisalkan sebagai petani, dan seorang istri dimisalkan sebagai tanah persawahan.
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki."
Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H
Makna kata: { نِسَآؤُكُمۡ حَرۡثٞ لَّكُمۡ } Nisaa’ukum hartsun lakum :
yaitu tempat untuk melahirkan anak-annak, wanita disamakan dengan ladang, karena tanah apabila ditanami akan menumbuhkan tanaman, dan wanita ketika disetubuhi suaminya akan melahirkan anak ddengan izin Allah Ta’ala.
{ فَأۡتُواْ حَرۡثَكُمۡ أَنَّىٰ شِئۡتُمۡۖ } Fa’tuu hatsakum annaa syi’tum :
yaitu dengan menggauli mereka dari depan maupun belakang asalkan tetap pada kemaluannya, tempat tumbuhnya benih. Dan ia dalam keadaan suci dari haidh dan nifas.
{ وَقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُمۡۚ } Wa qoddimu li anfusikum :
Sekurangnya ada tiga fakta yg unik terkait perumpamaan ini.
Pertama, di antara petani dgn sawahnya merupakan hubungan yg saling membutuhkan. Petani tak mungkin bekerja tanpa sawah, begitu pula sawah tak bisa produktif tanpa petani.
Demikianlah hendaknya seorang suami maupun isteri menyadari bahwa ia dibutuhkan oleh pasangannya, dan pada saat yg sama ia juga membutuhkan pasangannya.
Kedua, seorang petani harus memiliki rencana apa yg ingin ia hasilkan. Jika hendak panen jagung, maka ia akan tanam bibit jagung. Jika hendak panen tomat, maka ia pun akan tanam bibit tomat.
Alangkah mengherankan jika seorang petani merencanakan untuk memetik tomat, namun ia justru menanam jagung.
Artinya, seorang suami harus merencanakan dgn istrinya kelak ingin memiliki anak seperti apa. Jika hendak mendapat anak saleh, maka ia harus berperilaku takwa dlm memperlakukan istrinya. Karena takwa adalah bibit kesalehan.
Alangkah mengherankan jika seorang suami merencanakan utk mendapat anak saleh, namun ia justru menanam dgn bibit yg tidak mencerminkan ketakwaan.
Ketiga, tugas petani tak berhenti sampai menanam saja. Ia juga wajib utk merawat bibit yg ia tanam dgn cara mengairi, memberi pupuk, dan menjauhi dari hama yg merusak. Hanya petani yg tidak bertanggung jawab saja yg menanam bibit lalu pergi meninggalkan.
Itulah cermin dari sosok suami yg mendambakan anak saleh. Tugasnya tdk berhenti sampai istri mengandung dan melahirkan saja. Ia juga wajib merawat dgn nilai² islami, memberi pendidikan yg tepat, dan menjauhi buah hatinya dari pergaulan yg merusak.
Hanya suami yg tidak bertanggung jawab saja yg merasa tugasnya sudah selesai jika istri sudah mengandung.
Tentu masih banyak alasan mengapa Allah mengambil perumpamaan istri sbg tanah bercocok tanam bagi suaminya. Namun dari ketiga hal di atas saja kiranya sudah cukup menjadi pelajaran.
Komentar
Posting Komentar